Walaupun baru tinggal selama tiga hari di rumah kakak lelakinya di Kudus, Dibyo sudah banyak kenal dengan tetangga sekitar. Ia datang ke rumah kakaknya karena ada panggilan untuk mengambil surat penempatan kerja di Kanwil Depdikbud. Karena ia berencana akan kembali ke rumah orangtuanya sore hari, Dibyo berangkat ke kantor Kanwil pagi-pagi sekali setelah sholat subuh.
Langit masih gelap dan lampu-lampu jalan masih menyala ketika Dibyo naik bis menuju ke kantor Kanwil. Baru beberapa menit bisa berjalan, tiba-tiba berhenti lagi. Ternyata mengambil penumpang, seorang perempuan yang sungguh menarik. Walaupun masih banyak bangku yang kosong, perempuan tersebut memilih duduk di sebelah Dibyo.
Sebenarnya Dibyo masih mengantuk, tapi begitu melihat makhluk cantik di sebelahnya, ia berusaha mengusir kantuknya. Karena pada dasarnya Dibyo memang orangnya mudah bergaul, dengan cepat mereka jadi akrab. Setelah beberapa saat mengobrol, perempuan tersebut yang memperkenalkan diri sebagai Ita, mengatakan bahwa ia sebenarnya tetangga kakak Dibyo.
“Oh ya?” tanya Dibyo, karena ia merasa sudah mengenal hampir semua tetangga kakaknya, ternyata masih ada yang terlewat satu. “Di sebelah mana sih?” tanyanya lagi. Ita hanya mengatakan agar Dibyo tanya ke Anto. Mereka terus mengobrol kesana-kemari, lalu ketika langit sudah mulai memerah, Ita cepat-cepat turun dari bis sambil berkata, “Jangan lupa main ke rumah ya Mas.” Dibyo mengiyakan.
Sepanjang sisa perjalanannya, tak sedetikpun Dibyo bisa menghilangkan bayang-bayang wajah Ita. Perempuan satu ini sangat beda dengan perempuan-perempuan lain yang ditemuinya, bahkan dengan Endah. Sejak kedatangannya, Endah jadi sering bertandang ke rumah kakaknya sehingga banyak yang menggoda Dibyo dan menjodoh-jodohkan mereka. Tapi Dibyo sama sekali tidak punya perasaan apa-apa.
Sepulang dari Kanwil, Dibyo memutuskan untuk kembali ke rumah orangtua keesokan harinya. Malamnya ia berencana untuk ke rumah Anto lalu ke rumah Ita. Ketika makan siang, Dibyo ditemani oleh kakak iparnya, Rurin.
“Bagaimana Dik, si mana penempatannya?” tanya kakak ipar.
“Di Kudus Mbak,” jawab Dibyo.
“SMP atau SMU?”
“SMU,” jawab Dibyo.
“Asyik dong. Murid ceweknya sudah bisa dilirik kan?” goda Rurin.
Dibyo hanya tersenyum, tetapi dalam hati ia berkata bahwa hatinya sudah tertambat di tetangga dekat. Ia sudah membayangkan betapa seringnya ia nantinya bolak-balik Kudus-Ngampel.
“Mbak, habis ini saya ke rumah Anto ya,” kata Dibyo.
“Boleh, tapi pulangnya jangan malam-malam ya. Tolong gantikan kakakmu untuk kenduri di rumah Pak Ginanjar.”
“Lho siapa yang meninggal?” tanya Dibyo.
“Anaknya, ini sudah empat puluh harinya lho.”
Rurin berkata lebih lanjut, “Seandainya saja kamu langsung datang ketika aku surati waktu itu, barangkali kejadiannya lain….”
“Jadi, Ita itu anak Pak Ginanjar?” tanya Dibyo yang dijawab dengan anggukan. Memang sekitar dua bulan lalu Rurin berkirim surat kepada Dibyo mengatakan bahwa Ita Wuruhan, tetangganya, ingin sekali berkenalan lebih lanjut denganku. Ia pernah melihat Dibyo ketika berkunjung singkat ke rumah kakaknya jauh hari sebelumnya. Sedangkan Dibyo belum pernah melihat wajahnya.
Dugaan Rurin, Ita banyak melamun ketika mengendarai motornya pulang dari kampus sehingga mengalami tabrakan dan meninggal dunia. Padahal kuliahnya di Fakultas Ekonomi sudah selesai, tinggal menyusun skripsi. Mendengar semua itu, Dibyo hanya bisa termangu-mangu. Jadi tadi pagi itu, arwah Ita yang menemuinya di bis.